MAKALAH 
SUMBER HUKUM ISLAM
DI
S
U
S
U
N
OLEH
1.TAUFIK MAHYUDIN
2.TRI NINGSIH
3.YUSMAITA
4.RAHMAYANTI
UNIVERSITAS GAJAH PUTIH 
FAKULTAS TEKNIK INFORMATIKA UNIT J 2010/2011
  
SUMBER  HUKUM ISLAM
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia sumber adalah asal seuatu.Pada  hakekatnya yang dimaksud dengan sumber hukum islam adalah tempat kita  dapat menemukan atau menggali hukumya.Kata sumber hukum sering digunakan  dalam beberapa arti yaitu:
1.Sebagai azaz hukum,sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum (akal manusia,jiwa bangsa,kehendak Tuhan).
2.Menunjukan hukum terdahulu yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum.
3.Sebagai sumber berlakunya,yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum.
4.Sebagai sumber dimana kita dapat mengenali hukum. 
5.Sebagai sumber terjadinya hukum.
Hukum islam memiliki suatu sistim.Sistim adalah suatu kesatuan yang  terdiri dari bagian-bagian dan satu sama lainya berkaitan  kebergantungan.Setiap elemen terdiri atas bagian-bagian kecil yang  berkaitan tanpa dapat dipisah-pasahkan.
Sumber Hukum Islam adalah asal ( tempat pengambilan ) hukum islam.  Sumber hukum islam disebut  juga dengan istilah dalil hukum islam atau  pokok hukum islam atau dasar hukum islam.Dilihat dari sumber hukumya,  sumber hukum islam merupakan konsepsi hukum islam yang berorientasi  kepada agama dengan dasar doktrin keyakinan dalam membentuk kasadaran  hukum manusia untuk melaksanakan syari’at ,sumber hukumnya merupakan  satu kesatuan yang berasal dari firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi  Muhamad.
Diriwayatkan pada suatu ketika Nabi Muhamad saw mengutus sahabatnya ke  Yaman untuk menjadi Gubernur disana.Sebelum berangkat Nabi menguji  sahabatnya Mu’as bin Jabal dengan menanyakan sumber hukum yang akan  dipergunakan kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan sengketa yang  di jumpainya di daerah tersebut.Pertanyaan itu di jaawab oleh Mu’as  dengan mengatakan bahwa dia akan mempergunakan Qur’an ,sedangkan jika  tidak terdapat di Al Qur’an dia akan mempergunakan Hadits dan jika tidak  di temukan di Hadits maka dia akan mempergunakan akal dan akan  mengikuti pendapatnya itu.Berdasarkan Hadits Mu’as bin Jabal dapat  disimpulkan bahwa sumber hukum islam meliputi: Al Qur’an,Sunnah Rasul  dan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Sumber-sumber Hukum Islam terdiri dari :
1.Al Qur’an
Al Qur'an adalah kitab suci agama islam .umat islam percaya secara  bahwa Al Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah swt yang di  turunkan bagi manusia,dan bagian dari rukun iman ,yang di sampaikan   kepada Nabi Muhamad saw melalui malaikat Jibril yang diturunkan secara  berangsur-angsur.Wahyu Allah itu diturunkan dalam bahasa arab dan secara  autentik terhimpun dalam mushaf Al Qur'an.Al Qur'an adalah kitab suci  yang demikian masyur sehinga sulit untuk menemukan satu definisi yang  mencangkup keseluruhan Al Qur'an karena itu definisi yang anda masih  bersifat parsial ; tergantung kepada jenis kajian yang dilakukan.
A.Pengertian Al Qur'an menurut Etimonologi.
Ditinjau dari segi kebahasaan ( Etimonologi ), Al Qur'an berasal dari  bahasa arab yang berarti “ bacaan “ atau “ sesuatu yang dibaca  berulang-ulang “. Kata Al Qur'an merupakan Masdar (kata benda) dari kata   kerja Qara-'a yang bermakna Talaa, yang keduanya berarti membaca atau  bermakna jama'a (mengumpulkan,mengoleksi).Konsep pemakaian kata ini  dapat juga kita jumpai pada salah satu surat Al Qur'an yakni pada ayat  17 dan 18 surat Al-Qiyamah yang berbunyi :
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ.فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al Qur'an (di dalam dadamu) dan (menetapkan)  bacaanya (pada lidahmu) itu adalah tyanggungan kami .(karena itu),jika  Kami telah membacanya ,hendaklah kamu ikuti (amalkan) bacaanya”.(Q.S Al  Qiyamah ayat 17-18) 
Al Qur'an diturunkan Allah dengan bahasa Arab sebagaimana firmanya sebagai berikut :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya: 
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadanya (Muhamad) Qur'an yang berbahasa Arab supaya kamu sekalian berpikir”(Q.S. Yusuf ayat  2)
B.Pengertian Al Qur'an menurut Terminologi.
Bila kita tinjau dari segi Syari'at (Terminologi), ada beberapa pengertian Al Qur'an menurut para ahli diantaranya yaitu:
1.Menurut Muhamad Ali ash -Shabuni,
Muhamad Ali ash-Shabuni mendefenisikan Al Qur'an sebagai berikut : 
Al Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandinganya, diturunkan  kepada Nabi Muhamad saw penutup para Nabi dan Rasul dengan perantara  Malaikat Jibril  dan ditulis pada mushaf mushaf yang kemudian  disampaikan kepada kita secara mutawatir  serta membaca dan  memperlajarinya merupakan ibadah yang dimulai dengan surat Al Fatihah  dan di tutup dengan surat An-Nas.
2.Menurut Dr.Subhi Al Salih,   
Dr.Subhi Al Salih mendefenisikan Al Qur'an sebagai berikut    ;
Al Qur'an adalah kalam Allah swt yang merupakan Mukjizat yang  diturunkan kepada Nabi Muhamad saw dan ditulis di mushaf serta  diririwayatkan dengan mutawatir membacanya termasuk ibadah. 
3.Menurut Dr. Dawud al-Attar ( 1979),
Pada tahun 1979 Dr,Dawud al-Attar mendefenisikan Al Qur'an sebagai berikut :
Al Qur'an adalah Wahyu Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhamad  saw secara lafaz (lisan),makna serta gaya bahasanya (uslub) yang  temaktub dalam mushaf yang di nukil darinya secara mutawatir. Defenisi  di atas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut :
a.Al Qur'an sebagai Wahyu Allah swt , yaitu seluruh Ayat Al Qur'an  adalah Wahyu Allah swt ; tidak ada satu kata pun yang datang dari  perkataan atau pikiran Nabi.
b.Al Qur'an diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya  bahasanya,artinya isi maupun redaksi Al Qur'an datang dari Allah swt  sendiri.
c.Al Qur'an terhimpun dalam mushaf , artinya Al Qur'an tidak mencangkup  Wahyu Allah swt kepada Nabi Muhamad dalam bentuk hukum-hukum yang  kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi Sendiri.
d.Al Qur'an dinukil secara mutawatir,artinya Al Qur'an disampaikan  kepada orang lain secara terus menerus oleh sekelompok orang yang tidak  mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya  jumlah orang dan  berbeda-bedanya tempat tinggalnya.
Kata Al Qur'an itu sendiri menurut bahasa berarti bacaan atau yang di  baca.Dalam nama ini terkandung suatu prediksi (ramalan) bahwa wahyu  Allah swt yang di turunkan dengan bahasa lisan membuka kemungkina untuk  dan dikumpulkan sehingga menjadi satu kitab yang dapat di baca  manusia.Hal ini telah terbukti di mana Al Qur'an diterima Nabi ,dihafal,  ditulis,dan akhirnya dibukukan sehingga menjadi bacaan.sifat bacaan  mendekati dekatnya dengan lidah dan telinga serta masuknya bacaan itu  kedalam pikiran dan hati manusia.sifat ini mengisyaratkan fungsi Al  Qur'an untuk dihayati dan kemudian menjadi pedoman hidup dan kehidupan  manusia. Arti Al Qur'an sebagai bacaan juga menunjukan adanya kewajiban  setiap insan untuk senantiasa membacanya secara berulang-ulang sehingga  dapat mempedomaninya. 
C.Nama -nama lain Al Qur'an,
Dalam Al Qur'an sendiri terdapat beberapa yang menyertakan nama lain  yang digunakan untuk merujuk kepada Al Qur'an itu sendiri.Berikut adalah  nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkanya :
1.Al Kitab,berarti sesuatu yang ditulis.AlQur'an surat Ad-Dukhan ayat 2,
وَالْكِتَابِ الْمُبِي 
Artinya; “ Demi Kitab (Al Qur'an) yang menjelaskan”(Q.S 44:2)
2.Al Kalam,berarti ucapan.Al Qur'an surat At-Taubah ayat 6,
يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ 
Artinya; “ Mendengarkan kalam Allah swt”(Q.S 9:6)
3.Az-Zikra,berarti peringatan.Al Qur'an Surat Al Hijr ayat 9,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
Artinya;“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran”(QS 15:9)
4.Al Qasas,berarti cerita-cerita.Al Qur'an surat Ali Imran ayat 62,
إنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ ۚ ﴾
Artinya ; “Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar” ( Q.S  3:62)
5.Al Huda,berarti petunjuk.Al Qur'an Surat At Taubah ayat 33,
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ 
Artinya ; “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa)                    petunjuk (Al-Quran) “ ( Q.S  9 : 33)
6.Al Furkan,berarti pemisah.Al Qur'an surat Al Furqan ayat 1,
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِه
Artinya ;“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba       Nya” ( Q.S 25 :1 )
7.Al Mauizah,berarti nasehat.Al Qur'an surat Yunus ayat 57,
قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ
Artinya ;“sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari                                                       Tuhanmu “ (Q.S 10 : 57).
8.Asy-syifa,berarti obat atau penawar jiwa.Qur'an surat Al Isra ayat 82,
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ
Artinya:”Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi                      penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”(Q.S 17 : 82) 
9.An-Nur,berarti cahaya.AL Qur'an surat An Nisaa ayat 174,
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
Artinya :”dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran)” ( Q.S 4 : 174 )
10.Ar Rahmah,berarti Karunia.Al Qur'an surat An-Naml ayat 77,
وَإِنَّهُ لَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya:“ Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar menjadi                       petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” ( Q.S 27 :  77)
11.Al Hukm,berarti peraturan/hukum.Al Qur'an surat Ar Ra'd ayat 37,
وَكَذَٰلِكَ أَنْزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا ۚ  
Artinya ; “Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa arab”(Q.S 13:37)
12.Al Balagh,berarti penyampaian/kabar.Al Qur'an surat Ibrahim ayat 52
هَٰذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ وَلِيَعْلَمُوا أَنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya :“(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia,  dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka  mengetahui bahwasanya Dia         adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar  orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (Q.S 14 : 52)
13.Al Bashair,berarti pedoman.AlQur'an surat Al Jaatsiyah ayat 20
هَٰذَا بَصَائِرُ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ٠
Artinya ; “Al Quran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini”(Q.S 45 : 20)
14.Al-Bayan,berarti penerang.Al Qur'an surat Al Imran ayat 138,
هَٰذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ
Artinya : “(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan  petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa”.(Q.S 3 : 138)
D.Struktur Dan Pembagian Al Qur'an,
Al Qur'an terdiri dari 30 Juz,114 surat dan 6.236 ayat.setiap surat  dalam Al Qur'an akan  terdiri atas beberapa ayat dimana surat surat  terpanjang dengan 286 ayat seperti surat al Baqarah dan surat terpendek  dengan 3 ayat  yakni surat Al Kautsar.Berikut ini adalah pembagian surat  dalam Al Qur'an:
1.Assabi'uthiwaal,yaitu tujuh surat yang panjang,ketujuh surat itu  yaitu:AlBaqarah (286),Al A'raf(206),Ali Imran(200),An Nisa(176), Al  An'am(165),Al Maidah (120),dan Yunus (109).
2.AlMiuun,yaitu surat yang berisi 100 ayat lebih Maksudnya surat surat  tersebut memiliki ayat sekitar 100 ayat atau lebih contoh surat Hud (123  ayat),Yusuf(111 ayat),dan At Taubah (129 ayat).
3.Al Matsaani,yaitu surat-surat yang berisi kurang dari 100 ayat  maksudnya surat-surat tersebut kurang dari 100 ayat.contohnya surat Al  Anfal (75 ayat),Ar Rum (60 ayat),dan Al  Hirj (99 ayat).
4.Al Mufashshal,yaitu surat-surat pendek contoh Al Ikhlas, Adduha dan  surat An Nasr.surat-surat seperti ini kebanyakan ditemukan dalam Juz ke  30.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhamad adalah surat  Al Alaq ayat ke 1-5 di gua Hira.Tepatnya pada tanggal 17 ramadhan tahun  ke 40 bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M.Sedangkan menurut tempat  diturunkanya ,Surat Al Qur'an dapat di bagi menjadi 2 yaitu surat-surat  yang turun di Mekkah di sebut dengan surat Makkiyah dan surat-surat  yang turun di Madinah disebut dengan surat Madaniyah.
1.Surat-surat Makiyah,
Surat-surat Makkiyah Adalah Surat-surat Al Qur'an yang diturunkan  Allah swt pada priode Makkah/ayat- ayat yang turun selama Nabi Muhamad  saw masih ada di kota Makkah.Ayat-ayat Al Qur'an yang turun pada priode  Makah (ayat Makkiyah) sebanyak 4.780 ayat yang tercakup dalam 86  surat.Ayat-ayat yang turun pada priode Makkah ini berlangsung salama 12  tahun masa kenabian Rasullulah saw. Ciri-ciri dari ayat-ayat Makkiyah  adalah :
a.)Ayatnya pendek -pendek.
b.)Ditujukan kepada seluruh Umat.
c.)Belum membicarakan secara Khusus mengenai Hukum.
d.)Berisi penanaman kepercayaan kepada Allah swt serta  membongkar sisa-sisa kepercayaan syirik di masa jahiliyah.
2.Surat-surat Madaniyah,
Surat-surat Madaniyah adalah surat-surat / ayat-ayat yang diturunkan  Allah swt pada priode Madinah atau ayat-ayat yang turun selama Nabi  Muhamad saw hijrah ke Madinah.Ayat-ayat yang turun pada priode Madinah  (Ayat Madaniyah) sebanyak 1.456 ayat yang tercakup dalam 28  surat.Ayat-ayat yang turun pada priode Madaniyah ini berlang sung selama  10 tahun dimulai sejak Rasullulah hijrah ke Madinah .Ciri-ciri dari  ayat-ayat Madaniyah ini yaitu;
a.) Ayatnya panjang-panjang.
b.) Ditujukan Khusu kepada Orang-orang yang telah beriman.
c.) Sudah membicarakan secara khusus mengenai hukum.
d.) Tidak saja berisi tentang penanaman kepercayaan kepada   Allah swt  tetapi juga berisi tentang hal-hal yang berhubun gan dengan hubungan  antara manusia dan Alam sekitar.    
E. Penurunan Al Qur'an, 
Al Qur'an diturunkan Allah swt tidak sekaligus melainkan dengan cara  berangsur-angsur melaului perantara malaikat Jibril.Al Qur'an turun  secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari.Oleh para ulama  membagi masa turun di bagi menjadi 2 priode,yaitu priode Mekkah dan  priode Madinah.Priode Makkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian  Rasullulah saw,sedangkan priode Madinah di mulai sejak peristiwa Hijrah  berlangsung selama 10 tahun.
Turunnya al Qur'an itu secara berangsur-angsur yang memiliki hikmah :
1.Agar Mudah di mengerti dan dilaksanakan.
2.Diantara Ayat-ayat yang diturunkan ada yang nasich dan ada yang mansuch (yang di hapus dan di emnghapus).
3.Turunya sesuai dengan peristiwa yang terjadi.
4.Memudahkan penghafalan.
Al Qur'an diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw dengan berbagai cara:
1.Berupa impian yang Baik waktu beliau tidur.kadang-kadang wahyu itu  dibawa oleh malaikat Jibril dengan menyerupai bentuk manusia  laki-laki,lalu menyampaikan perkataan atau (firman Allah) kepada beliau.
2. Kadang-kadang malaikat pembawa wahyu itu menampakkan dirinya dalam  bentuk yang asli (bentuk malaiakat),lalu mewahyukan firman Allah kedpada  beliau.
3. Kadang-kadang wahyu itu merupakan bumi genta.inilah cara yang paling berat di rasakan beliau.
4.Kadang-kadang Wahyu itu datang tidak dengan perantaraan malaikat,melainkan di terima langsung dari Hadirat Allah sendiri.
5. Sekali Wahyu itu beliau terima di atas langit yang ke tujuh langsung dari Hadirat Allah sendiri.
Al Qur'an sebagai sumber nilai mengandung pokok-pokok ajaran sebagai berikut :
1.Pokok-pokok kenyakinan atau keimanan terhadap  Allah,malaikat,kitab-kitab,Rasul-rasul,dan hari akhir.dari pokok-pokok  yang terkandung dalam Al Qur'an ini lahir teologi atau ilmu Kalam.
2.Pokok-pokok peraturan atau hukum,yaitu garis-garis besaraturan tentang  hubungan dengan Allah,antara manusia,dan hubungan manusia dengan Alam  yang melahirkan syariat,hukum atau ilmu Fikih.
3.Pokok-pokok aturan tingkah laku atau nilai-nilai dasar etika tingkah laku.
4.petunjuk dasar tentang tanda-tanda Alam yang menujukkan eksistensi dan  kebesaran Tuhan sebagai pencipta.petunjuk dasar ini merupakan  isyarat-isyarat ilmiah yang melahirkan ilmu pengetahuan.
5.Kisah-kisah para Nabi dan umat terdahulu.
6.Informasi tentang alam Ghaib,seperti adanya Jin,kiamat,surga,dan neraka.
Fungsi utama dari Al Qur'an sebagai petunjuk dan sumber Hidayah selain Al Qur'an memiliki fungsi lainya antara lain:
1.Kita yang berisi berita(An Naba'Wal Akhbar) (Q.S 78:1-2),
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْوَإِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْ
Artinya ; “Apabila langit terbelah,dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan”(Q.S Al Infithaar ayat 1-2)
2.Kiatab yang bberisi Hukum Syariat(Al Hukmu Wasy Syari'ah) (Q.S 5:49-50).
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ  أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ  اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ  أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ  يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ  يُوقِنُونَ﴾وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Artinya ;
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa  yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.  Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak  memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah  kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan  Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan  menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa  mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang  fasik.Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah  yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang  yakin?”(Q.S Al Maidah ayat 49-50)
3.Kitab yang berisi perjuangan di jalan Allah swt (Kitabul Jihad)
(Q.S 29:69)
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya :”Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,  benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan  sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat  baik”.(Q.S Al Ankabut ayat 69) 
4.Kitab yang berisi pendidikan (Kitabut Tarbiyyah)(Q.S 3:79)
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ  وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ  اللَّهِ وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ  الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya:
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al  Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah  kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi  (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu  selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap  mempelajarinya.”(Q.S Al Imran ayat 79)
5.Kitab yang Berisi Ilmu Pengetahuan(Kitabul 'Iim)
Ciri-ciri Khas pembentukan hukum dalam Al Qur'an antara lain sebagai berikut:
a) Ayat-ayat Al Qur'an lebih cendrung untuk memberi patokan-patokan umum daripada memasuki persoalan sampai detailnya.
b) Ayat-ayat menunjukkan adanya (beban ) kewajiban bagi manusia tidak perbah bersifat memberatkan.
c)Sebagai patokan ditetapkan Kaidah.
d) Dugaan atau sangkaan tidak boleh dijadikan dasar penetapan Hukum .
e) Ayat-ayat yang berhubungan dengan penetapan Hukum tidak pernah meninggalkan    
masyarakat sebagai bahan pertimbangan.
f) Penerapan hukum khususnya hukum pidana dan yang bersifat perubahan hukum tidak   
mempunyai daya surut.
F.Pengumpulan Al Qur'an  Dimasa Rasullulah,  
Pada masa ketika Nabi Muhammad saw masih hidup,terdapat beberapa  orang yang di tunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin  Tsabit,Ali bin Abi Thalib,Muawiyah bin abu Sufyan,dan Ubay bin Kaab yang  digunakan saat itu berupa pelepah Kurma,Lempengan Batu,Daun  Lontar,Kulit atau daun kayu,plana, potongan tulang belulang  binatang.Disamping itu banyak juga Sahabat-sahabat langsung menghafalkan  ayat-ayat Al Qur'an setelah wahyu diturunkan.lembaran-lembaran(mushaf  itu dikumpulkan di rumah Rasullulah saw.Kemudian setelah Nabi Muhamad  Meninggal Dunia lalu pengumpulan Mushaf-Mushaf itu di kembali pada masa  Khularafaur Hurasyidin.
G.Pengumpulan Al Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin,
1) Pada Masa Pemerintahan Abu Bakar.
Pada masa Kekhalifahan Abu Bakar,terjadi beberapa pertempuran (dalam   perang yang di kenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan  tewasnya beberapa penghafal Al Qur'an dalam jumlah yang signifikan.Umar  bin Khattab yang saat itu merasa sangat Khawatir akan keadaan tersebut  lantas meminta kepada Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al Qur'an  yang saat itu tersebar di antara para sahabat.Abu Bakar lantas  memerintahkan Zhait bin Tsabit sebagai Koordinator pelaksanaan tugas  tersebut.setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al Qur'an tersusun  secara rapi dalam Satu Mushaf.Hasilnya di serahkan kepada Abu Abu  Bakar,Abu Bakar menyimpan Mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian  Mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai Khalifah  penerusnya.selanjutnya Mushaf di pegang Oleh Anaknya Yakni Hafsah yang  juga istri Nabi Muhamad saw.
2) Pada Masa Pemerintahan Utsman bin Affan,
Pada masa pemerintahan Khalifah ke 3 yakni Utsman bin Affan,terdapat  keragaman dalam cara pembacaan Al Qur'an (Qira'at) yang disebabkan oleh  adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah  berbeda-beda.hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia  mengambil kebijakan untuk membuat sebuah Mushaf Standar(menyalin Mushaf  yang di pegang Hafsah)yang di tulis dengan sebuah jenis penulisan yang  baku.Standar tersebut,yang kemudian di kenal dengan Istilah Cara  penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini.bersamaan  dengan standarisasi ini,seluruh Mushaf yang berbeda dengan standar yang  dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (di bakar).Dengan proses ini  Utsman berhasil mencegah bahaya Laten terjadinya perselesihan diantara  Umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al Qur'an.
H.Upaya Penerjemahan Dan Penafsiran Al Qur'an,
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah  menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih  dalam,mengupas makna) dalam berbagai bahasa.Namun demikian hasil Usaha  tersebut di anggap sebatas Usaha manusia dan bukan usaha untuk  menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa  Arab.kedudukan terjemahan dan tafsir yang di hasilkan tidak sama dengan  Al Qur'an itu sendiri.
Terjemahan Al Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal  teks Al Qur'an yang tidak dibarengi dengan Usaha Interpretasi lebih  jauh.Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti  sesungguhnya dari Al Qur'an.sebab Al Qur'an menggunakan suatu lafazh  dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang berfariasi  ;kadang-kadang untuk arti hakiki ,kadang-kadang pula untuk arti Majazi  (kiasan) atau arti dan maksud lainya.
Terjemah dalam bahasa Indonesia diantaranya dilaksanakan oleh :
1.Al Qur'an dan terjemahanya,oleh Departemen Agama Republik Indonesia,ada 2 edisi revisi,yaitu tahun 1989 dan 2002.
2.Terjemahan Al Qur'an,oleh Prof. Mahmud Yunus.
3.An Nur,oleh Prof.T.M.Hasbi Ash-Sidieqy.
4.Al Furqan,oleh A.Hassan guru PERSIS.
2.Al HADIST
A.Pengertian Hadits,
Hadits adalah segala perkataan (sabda),perbuatan dan ketetapan dan  persetujuan dari Nabi Muhamad saw yang dijadikan ketetapan ataupun hukum  dalam Agama Islam.Hadist dijadikan sumber hukum dalam Agama Islam  selain Al Qur'an,Ijma,dan Qiyas,dimana dalam hal ini ,kedudukan Hadist  merupakan sumber hukum kedua setelah Al Qur'an .
Menurut Etimologi Hadist secarab Harfiyah berarti percakapan atau  pkataan.dalam terminologi Islam istilah Hadist istilah Hadist berarti  melaporkan atau mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi  Muhamad saw.Definisi ini mengandung 4 macam unsur yaitu :  perklataan,perbuatan,pernyataan,dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan  Nabi Muhamad saw.
1.Perkataan,
Perkataan adalah yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang; Syariat,Aqidah,akhlak,Pendidikan,
2.Perbuatan,
perbuatan merupakan penjelasan praktis dari peraturan-peraturan yang  belum jelas pelaksanaanya misalnya cara bershalat dan cara menghadap  kiblat dalam shalat sunnah di atas kendaraan yang sedang berjalan.
3.Taqrir,
Arti Taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan,tidak mengadakan  sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan  oleh para sahabat di hadapan beliau contoh diamnya Nabi terhadap  perempuan yang keluar rumah,berjalan di jalan pergi ke Masjid,dan  mendengarkan ceramah-ceramah yang memang diundang untuk kepentingan  suatu pertemuan
4.Sifat-sifat,keadaan-keadaan,dan Himah ( Hasrat ) Rasullulah saw.
Sifat-sifat beliau beliau yang termasuk unsur Al Hadist ialah sebagai berikut:
a.Sifat-sifat beliau yang dilukiskan oleh para sahabat dan ahli Tarikh  (sejarah),seperti sifat-sifat dan bentuk Jasmaniah beliau yang  dilukiskan oleh sahabat Anas r,a sebagai berikut.”Rasullulah itu adalah  sebaik-baik manusia mengenai paras mukanya dan bentuk tubuhnya.beliau  bukan orang tinggi dan bukan pula orang pendek”.( HR  Bukhari dan  Muslim)
b.silsilah-silsilah,nama-nama,dan tahun kelahiran yang telah di tetapkan  oleh para sahabat dan ahli sejarah.contoh:mengenai tahun kelahiran  beliau seperti apa yang di katakan oleh Qais dan Mahrahmah r.a”Aku dan  Rasullulah saw.dilahirkan pada tahun Gajah,”( HR Tarmidzi )
c.Himmah (hasrat) beliau yang belum sempat direalisasi. Misalnya hasrat  beliau untuk berpuasa tanggal 9 Asyura,seperti yang diriwayatkan oleh  Ibnu Abbas r.a “Takkala Rasullulah saw berpuasa pada hari Asyura dan  memerintahkan untuk dipuasai para sahabat meghadap kepada Nabi,Mereka  berkata,'Ya Rasulluloah,bahwa hari ini adalah yang di agungkan oleh  orang Yahudi dan Nasrani.'sahut rasullulah,'Tahun yang akan datang,  insya'allah aku akan berpuasa tanggal 9.”(HR Muslim dan Abu Daud).
B.Hadits Yang Dilihat Dari Banyak Sedikitnya Perawi,
1. Hadits Mutawatir.
Hadits Mutawatir yaitu Hadits yang dirawayatkan oleh sekelompok orang  dari beberapa Sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta.Beberapa  syarat yang harus dipenuhi agar suatu Hadits bisa dikatakan sebagai  Hadits Mutawatir:
1.Isi Hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca Indera.
2.Orang yang menceritakanya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan,tidak mungkin berdusta.sifatnya Qath'iy.
3.Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.
2. Hadits Ahad.
Hadits Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih  tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir.Pembagian Hadits Ahad terbagi  menjadi 3 yaitu:
1.Hadits Shahih,
Menurut Ibnu Sholah,Hadits Shahih adalah Hadits yang bersambung  sanadnya.ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi Dhobit (kuat  ingatanya) hinggan akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan  Hadits lain yang lebih Shahih) dan tidak Mu'allal (tidak cacat).beberapa  syarat Hadits shahih sebagai berikut:
a).Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al Qur'an .
b).Harus bersambung Sanadnya..
c). Diriwayatkan oleh orang atau Perawi yang adil.
d). Diriwayatkan oleh orang yang Dhobit(kuat ingatanya).
e). Tidak Syadz (tidak bertentangan dengan Hadits lain yang lebih Shahih).
f). Tidak cacat walaupun tersembunyi.
2.Hadits Hasan.
Hadits Hasan Adalah Hadits yang banyak sumbernya atau jalanya dan di  kalangan parawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak Syadz.
3.Hadits Dha'if.
Hadits Dha'if adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan  diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak Dhobit,Syadz,dan  cacat.
C.Menurut Macam Periwayatnya,
A.Hadits yang bersambung sanadnya,
Hadits ini adlah Hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhamad saw.Hadits ini disebut dengan Hadits Marfu'u atau Maushul.
B.Hadits yang terputus sandnya,
A).Hadits Mu'allaq,
Hadits ini disebut juga Hadits yang tergantung,yaitu Hadits yang  permulaan sanadnya dibuang oleh seseorang atau lebih hingga akhir  sanadnya,yang berarti Hadits Dha'if.
B).Hadits Mursal,
Hadits Mursal disebut juga Hadits yang dikirim yaitu Hadits yang  diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhamad tanpa menyebutkan  sahabat tempat menerima Hadits itu
C).Hadits Mudallas,
Hadits Mudallas disebut juga hadits yang disembunyik an  cacatnya  .Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan  seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada baik dalam sanad  ataupun Gurunya   jadi Hadits Mudallas ini ialah Hadits yang ditutupi  kelemahan sanadnya.
D).Hadits Munqathi,
Hadits Munqathi disebut juga Hadits yang terputus yaitu Hadits yang  gugur atau hilang seseorang atau dua orang perawi selain selain sahabat  dan tabi'in.
E).Hadits Mu'dhol,
Hadits Mu'dhol disebut juaga Hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits  yang diriwayakan oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhamad saw  atau dari sahabat tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi  sanadnya.kesemua itu di nilai dari ciri hadits shahih tersebut di atas  adalah termasuk hadits-hadits Dha'if.
D.Hadits Hadits Dha'if Disebabkan Cacat Oleh Perawi
A.Hadits Maudhu' 
Hadits Maudhu yaitu Hadits yang berarti yang dilarang,yaitu Hadits  dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau yang dituduh  dusta,jadi Hadits itu adalah Hasil karanganya sendiri bahkan tidak  pantas disebut Hadits.
B.Hadits Matruk,
Hadits Matruk yaitu Hadits yang ditinggalkan,yaitu Hadits yang hanya  Diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh  berdusta.
C.Hadits Mungkar,
Hadits Mungkar yaitu Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang  perawi yang lemah yang bertentangan dengan Hadits yang diriwayatkan oleh  perawi yang terpercaya atau jujur.
D.Hadits Mu'allal,
Hadits Mu'alal yaitu Hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu Hadits  yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi, menurut Ibnu Hajar Al  Atsqalani bahwa Hadits Mu'allal adalah Hadits yang nampaknya baik tetapi  setelah di selidiki ternyata ada cacatnya,Hadits ini biasa disebut juga  dengan Hadits Ma'lul (yang dicacati)atau disebut juga Hadits Mu'tal  (Hadits sakit/cacat)
E.Hadits Mudhthorib,
Hadits Mudhthorib artinya Hadits yang kacau yaitu Hadits yang  diriwayatkan oleh seorang perawi-perawi dari beberapa sanad dengan Matan  (isi) kacau atau tidak sama dan Kontradisi dengan yang dikompromikan.
F.Hadits Maqlub,
Hadits Maqlub artinya Hadits yang terbalik yaitu Hadits yang  diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang  belakang atau sebaliknya baikl berupa sanad (istilah) maupun Matan  (isi).
G.Hadits Munqalib,
Hadits Munqalib yaitu Hadits yang terbalik sebagai lafalnya hingga pengertianya berubah.
H.Hadits Mudraj,
Hadits Mudraj yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang  di dalamnya terdapat tambahan yang bukan Hadits, baik keterangan  tambahan dari perawi sendiri atau lainya.
I.Hadits Syadz,
Hadits Syadz artinya Hadits yang jarang yaitu Hadits yang diriwayatka  oleh perawi yang Tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan Hadits  lainyang diriwayatkan dari perawi-perawi (Periwayat/pembawa)yang  terpercaya pula,demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits  Syadz jarang dihafal ulama Hadits sedang yang banyak di hafal Ulama  Hadits di sebut juga Hadits Mahfudz.
E.Beberapa Istilah Dalam Ilmu Hadits,
A.Muttafaq' Alaih,
yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh Iman Bukhori dan Imam Muslim dari  sumber sahabat yang sama,atu dikenal juga dengan Hadits Bukhari-Muslim.
B.As Sab'ah,
As Sab'ah berarti tujuh perawi,yaitu:
1.Imam Ahmad
2.Imam Bukhari
3.Imam Muslim
4.Imam Abu Daud 
5.Imam Tirmidzi
6.Imam Nasa'i
7.Imam Ibnu Majah
C.As Sittah,
As Sittah yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.
D.Al Khamsah,
Al Khamsah yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.
E.Al Arba'ah,
Al Arba'ah yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah kecuali Imam Ahmad,Imam Bukhari.dan Imam Muslim.
F.Ats Tsalatsah,
Ats Tsalatsah yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah kecuali Imam Ahmad,Imam Bukhari,Imam Muslim,dan Imam Ibnu Majah.
G.Perawi,
Perawi yaitu orang yang meriwayatkan Hadits.
H.Sanad,
Sanad berarti sandaeran yaitu jalan Matan dari Nabi Muham mad saw  sampai kepada orang yang mengeluarkan (Mukhrij) Hadits itu atau Mudawwin  (orang yang menghimpun atau mem bukukan) Hadits.Sanad biasa disebut  juga dengan Isnad berarti penyandaran.pada dasarnya orang atau ulama  yang menjadi Sanad Hadits itu adalah perawi juga.
I.Matan,
Matan yaitu isi Hadits baik berupa sabda Nabi Muhamad saw maupun berupa  perbuatan Nabi Muhammad saw yang diceritakan oleh sahabat atu berupa  Takrirnya
F.Periwayat Hadits yang diterima oleh Muslim,
1.Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H)
2.Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H)
3.Sunan Abu Dawud, disusun oleh Abu Daud (202-275 H)
4.Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H)
5.Sunan An Nasa'i, disusun oleh An Nasa'i(215-303 H)
6.Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273).
7.Musnad Ahmad, disusun oleh Imam Ahmad bin Hambal
8.Muwatta Malik, disusun oleh Imam Malik
9.Sunan Darimi,Ad-Darimi
G.Periwayat Hadits yang diterima oleh Syi'ah
Muslim syariah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh  keturunan Muhamad saw, melalui Fatimah Az Zahra  atau oleh pemeluk Islam  awal yang memihak Ali   bin Abi Thalib. Syi'ahtidak menggunakan hadits  yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syiah  diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Muhammad saw, yang melawan  Ali pada Perang Jamal.Ada beberapa sekte dalam Syi'ah, tetapi sebagian  besar menggunakan:
1.Ushul al-Kafi
2.Al-Istibshar
3.Al-Tahdzib
4.Man La Yahduruhu al-Faqih
H.Pembentukan Dan Sejarah Tentang Hardits 
Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap  Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat  pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada  sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada  murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga  sampai kepada pembuku Hadits. Itulah pembentukan Hadits.
1.Masa Pembentukan Al Hadist
Masa pembentukan Hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu  sendiri , ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini Al Hadits belum  ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja.
2.Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak  wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini Al  Hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan  dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong  para sahabat saling bertukar Al Hadits dan menggali dari sumber-sumber  utamanya.
3.Masa Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai  menolak menerima Al Hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan  kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah  dengan munculnya Al Hadits palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat  mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam  permusuhan tersebut, sehingga jika ada Al Hadits baru yang belum pernah  dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi  sumber dan pembawa Al Hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah  'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in  memerintahkan penghimpunan Al Hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H,  dan Al Hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan Al  Hadits marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.
4.Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan Al  Hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami  Hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai  mengelompokkan Hadits dan memisahkan kumpulan Hadits yang termasuk  marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi  prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha  pembukuan Al Hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan  (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan  Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi)  atas Al Hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H,  usaha pembukuan Hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada  masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai Al Hadits.  Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan  kitab Al Hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun  untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Al  Hadits abad 4 H.Berikut ini adalah Kitab-kitab Hadits yang  terhimpun/terkumpul dari beberapa Abad Hijriah,yaitu ;
Pada Abad ke 2 H,
1.Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
2.Al Musnad oleh [Ahmad bin Hambal]] (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M)
3.Mukhtaliful Hadist oleh As Syafi'i
4.Al Jami' oleh Abdurrazzaq Ash Shan'ani
5.Mushannaf Syu'bah oleh Syu'bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
6.Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M)
7.Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa'ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
8.As Sunan Al Auza'i oleh Al Auza'i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
9.As Sunan Al Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M) 
Pada Abad ke 3 H,
1.Al Jami'ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
2.Al Jami'ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
3.As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
4.As Sunan Abu Dawud oleh Abu Daud (202-275 H / 817-889 M)
5.As Sunan Tarmidzi,oleh At Tarmidzi (209-279 H / 825-892 M)
6.As Sunan Nasa'i, oleh An Nasa'i(225-303 H / 839-915 M)
7.As Sunan Darimi,oleh Darimi(181-255 H / 797-869 M)
Pada Abad ke 4 H,
1.Al Mu'jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
2.Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
3.Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
4.Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
5.Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
6.At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
7.As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
8.Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
9.As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
10.Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
11.Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
Pada Abad ke 5 H dan selanjutnya,
A.Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya:
Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
Al Imam oleh Ibnul Daqiqil 'Id (625-702 H / 1228-1302 M)
Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? - 652 H / ? - 1254 M)
Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
'Umdatul Ahkam oleh 'Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
B.Kitab Al Hadits Akhlaq,diantaranya:
At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
Ryiyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
C.Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadist),diantaranya:
Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu'allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan'ani (wafat 1099 H / 1687 M)
D.Lain-lain
Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadits-hadits tentang doa.
Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi Al  Hadits yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan  menurut dirinya sendiri.
C.IJTIHAD
A.Pengertian Ijtihad.
Ijtihad menurut bahasa adalah mencurahkan segala kemampuan dalam segala  perbuatan.Sedangkan ijtihad menurut istilah terbagi menjadi beberapa  persepsi diantaranya yaitu:
1. Menurut Imam as-Syaukani :
Ijtihad yaitu Mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang  bersifat operasional dengan cara istimbat (mengambil kesimpulan hukum).
2. Menurut Imam al-Midi :
Ijtihad yaitu Mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’  yang bersifat dhonni, sampai merasa tidak mampu untuk mencari tambahan  kemampuannya itu.
Namun demikian definisi dari Imam as-Syaukani sudah dianggap cukup,  sebab mukallaf tidaklah dibebani kewajiban kecuali sekedar mencurahkan  kemampuannya saja.Firman Allah
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا 
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan          kesanggupannya”(Q.S Al Baqarah ayat 286).
B.Syarat-syarat Mujtahid
1. Mengetahui Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam dan sumber utama syari’at serta ajaran Islam. Sebagaimana Firman Allah AWT. :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Artinya ; “Kami turunkan kepada kamu al-kitab (Al-Qur’an) untuk  menjelaskan segala    sesuatu dan petunjuk serta rhmat dan kabar gembira  bagi orang yang berserah    diri”. (Q.S. An-Nahl : 89).
Oleh sebab itu seorang mujtahid harus mengetahui Al-Qur’an secara mendalam
2. Mengetahui As-Sunnah
Yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah : ucapan, perbuatan atau  ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Para ulama’ tidak  mensyaratkan untuk mengetahui semua hal yang berhubungan dengan  As-Sunnah, sebab sunnah atau hadist merupakan suatu lautan yang laus.  Tetapi mereka mensyaratkan untuk mengetahui hadist-hadist yang ada  hubungannya dengan hukum saja.
3. Mengetahui Bahasa Arab
Wajib bagi seorang mujtahid untuk mengetahui bahasa Arab dalam artian,  menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmunya sehingga mampu memahami  pembicaraan orang-orang arab. Hal ini diharuskan karena Al-Qur’an  diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas dan As-Sunnah juga diucapkan  oleh seorang Nabi yang berbahasa Arab pula, tentunya ini yang berkenaan  dengan hadist-hadist qauli (ucapan). Sedangkan hadist fi’li (perbuatan)  dan hadist taqriri (ketetapan Rasul) dinukil pula oleh para sahabat yang  berbahasa Arab.
C. Fungsi Ijtihad
Meskipun Al-Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak  berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh  Al-Qur’an maupun As-Sunnah.  Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat  turunnya Al-Qur’an dengan kehidupan modern.Sehingga setiap saat masalah  baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam  melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam disuatu tempat  atau disuatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah  perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dah jelas ketentuannya dalam  Al-Qur’an atau As-Sunnah. Sekiranya sudah ada maka maka persoalan  tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam  Al-Qur’an atau As-Sunnah itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan  perkara yang ridak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan  As-Sunnah, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan  ijtihad. Tetapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti  dan paham Al-Qur’an dan As-Sunnah.
D.Penerapan ijtihad
Dunia akan terus berkembang dengan banyak perubahan dan  perbedaan.Dengan banyaknya perubahan dan perbedaan, maka hukum Islam  akan mengikutinya. Karena itu , untuk mengatsi banyaknya perubahan dan  perkembangan, umat Islam perlu melakukan Ijtihad guna menentukan hukum  permasalahan yang pada zaman Rasulullah SAW tidak ada dan muncul dizaman  sekarang. Dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan  As-Sunnah.Apabila syarat-syarat untuk menjadi mujtahid terpenuhi maka  seseoarang diperbolehkan untuk ber-Ijtihad.
D.IJMA 
A.Pengertian Ijma
Ijma' menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang  sesuatu hal seperti perkataan seseorang  ()  yang  berati  " kaum itu  telah sepakat  (sependapat) tentang yang demikian itu”.
Menurut istilah ijma', ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang  hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW  meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal  dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan  khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk  mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula  diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada  permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu,  namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang  seperti ini dapat dikatakan ijma'.  
B.Dasar Hukum Ijma'
1. Al-Qur'an 
Allah SWT berfirman: 
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59) 
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan  atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama.  Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau  penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. 
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat  tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka  kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin. 
Firman AIlah SWT: 
Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah       kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103) 
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali  bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma'  (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi  ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid. 
Firman Allah SWT: 
Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran  baginya dan      mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang  beriman, Kami biarkan ia      berkuasa terhadap kesesatan yang telah  dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke     dalam jahannam dan jahannam  itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ':     115) 
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti  jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang  beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah:  "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan  sesat dan dimasukkan ke dalam neraka." 
2. AI-Hadits 
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari  suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena  mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan  apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: 
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) 
3. Akal pikiran 
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan  dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid  dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam,  batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum  yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia  menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum  dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam  berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar  ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah  umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang  bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid  telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah  dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan  al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu.  Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas,  kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid  yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama  diamalkan. 
C.Rukun-rukun ijma' 
Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut: 
1.Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para  mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa  itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya  suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena ijma' itu  harus dilakukan oleh beberapa orang. 
2.Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada  dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para  mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian  belum dapat dikatakan suatu ijma'. 
3.Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid  bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum  (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan  sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau  para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus  menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan  berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau  dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan  hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja  keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah  yang dilakukan para mujtahid. 
4.Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari  seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian  besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke  taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah  syari'ah. 
D. Kemungkinan terjadinya ijma' 
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW  sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka  ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu: 
1.Periode Rasulullah SAW; 
2.Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan 
3.Periode sesudahnya. 
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada  peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an  yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah  SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka  langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung  menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT.  Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat  yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami. 
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan  tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap,  yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang  memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti  yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu,  kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau  sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal  ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada  perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah  Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau  orang yang dipandang sebagai mujtahid. 
Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak  gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai  dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat  jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah  Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi,  seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu  Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal  dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan  Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu  terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa  dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam  terkuras dan habis karenanya. 
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia  Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung  Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan  Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas  daerah yang demikian. 
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 
1.Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW; 
2.Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin  Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa  enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak  mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di  atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya  daerah yang berpenduduk Islam. 
Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang  berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya  mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada  negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam,  tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam.  Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian  kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan  khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan  parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin  yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat  dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa  setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat  dikatakan sebagai ijma' lokal. 
Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan hukum  yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang  mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan  sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ'  atau sebagai ahlul halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam  untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur  kepentingan-kepentingan rakyat mereka. 
Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam  membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk  berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh  pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian  menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang  dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang  dilakukan oleh orang seorang. 
E. Macam-macam ijma' 
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun  dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'.  Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan  tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam. 
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas: 
1.ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas  dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga  ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi; 
2.Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak  menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri  saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang  telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini  disebut juga ijma' 'itibari. 
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada: 
1.ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i  diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari  peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma'  yang dilakukan pada waktu yang lain; 
2.ljma' dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada  kemungkinan    lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah  ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil  ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain. 
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang  dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang  melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah: 
1.Ijma' sahabat, yaitu ijma' yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW; 
2.Ijma' khulafaurrasyidin, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Khalifah Abu  Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya  dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa  Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma' tersebut  tidak dapat dilakukan lagi; 
3.Ijma' shaikhan, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab; 
4.Ijma' ahli Madinah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama  Madinah. Ijma' ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam  menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai  salah satu sumber hukum Islam; 
5.Ijma' ulama Kufah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah.  Madzhab Hanafi menjadikan ijma' ulama Kufah sebagai salah satu sumber  hukum Islam. 
F. Obyek ijma' 
Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada  dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang  berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung  ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau  semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada  dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
E.QIYAS
A.Pengertian Qiyas.
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau  mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu  mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan  sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan  meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu  dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya. 
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian  atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya  kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan  hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua  kejadian atau peristiwa itu. 
Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan  hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk  menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara  qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan  hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu  ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila  telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat  dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian.  Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan  melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan  dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah  diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas.  Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut: 
a. Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya,  sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya.  Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari  perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu  perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT. 
Artinya: 
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi,  menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain  hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu  hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90) 
Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu  sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak  akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum  narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr. 
b. Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang  tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera  memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul  persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk  menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan  hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya. Perbuatan  itulalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang  akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan. 
Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda: 
Artinya: 
"Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi." (HR. Tirmidzi) 
Antara kedua peristiwa itu ada persamaan 'illatnya, yaitu ingin segera  memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan  persamaan 'illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh  tanah yang diwariskan B untuknya, karena ia telah membunuh orang yang  telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh orang yang  akan diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang  telah dibunuhnya. 
c. Terus melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di sawah,  bekerja di kantor, dan sebagainya setelah mendengar adzan untuk  melakukan shalat Jum'at belum ditetapkan hukumnya. Lalu dicari perbuatan  lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula  persamaan 'illatnya, yaitu terus menerus melakukan jual beli setelah  mendengar adzan Jum'at, yang hukumnya makruh. Berdasar firman AIIah SWT:  
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan (adzan) untuk  sembahyang hari Jum'at, maka hendaklah segera mengingat Allah (shalat  Jum'at) dan meninggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik untukmu  jika kamu mengetahui." (al-Jumu'ah: 9) 
Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan 'illatnya, karena itu dapat  pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar  adzan Jum'at, yaitu makruh seperti hukum melakukan jual-beli setelah  mendengar adzan Ju'mat. 
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas  ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang  tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk  menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa  yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa  atau kejadian itu mempunyai 'illat yang sama pula. Kemudian  ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan  hukum peristiwa atau kejadian yang kedua. 
B. Dasar Hukum Qiyas 
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat  sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar  hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda  pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang  boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan  ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah  melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak  diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar. 
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas  sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab  Dzahiri dan Madzhab Syi'ah. Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang  membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur'an dan al-Hadits dan  perbuatan sahabat yaitu: 
a. Al-Qur'an 
1) Allah SWT berfirman: 
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan  Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat  tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu  beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik  (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisâ': 59) 
Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT  memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan  al-Qur'an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan al-Hadits  hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil  amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur'an dan  al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan  yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara  yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas. 
Artinya: 
"Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung  halaman mereka pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa  mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan  dapat menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah  mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka.  Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka  membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan  tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat (dari  kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam."  (al-Hasyr: 2) 
Pada ayat di atas terdapat perkataan fa'tabirû yâ ulil abshâr (maka  ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang  mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan  kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri  sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika  orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang  kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari  penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan  suatu hukum syara' dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau  qiyas. 
b. Al-Hadits. 
1. Setelah Rasulullah SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya: 
Artinya: 
"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu  peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar  al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz  berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak  memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad  dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz  berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi  Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah,  karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR.  Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi) 
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad  dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat  al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak  cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya  ialah dengan menggunakan qiyas. 
2. Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti: 
Artinya: 
"Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap  Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan  ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal  dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW  menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya  ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah  hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk  dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i) 
Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah  dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa  ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu  belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji.  Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang.  Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya  wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama  dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib  dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan  cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi. 
c. Perbuatan sahabat 
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum  suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan  Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat  menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang  disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau  sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau  sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar  menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan. 
Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa  al-Asy'ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara  seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah: 
Artinya: 
"kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu  tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian  lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu  dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat  engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan  kebenaran..." 
d. Akal 
Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam  pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan  ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam  nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang  'illatnya sesuai benar dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash  sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash  sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar  nash karena ada persamaan 'illatnya diduga keras akan memberikan  kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari  peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas. 
Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash-nash al-Qur'an dan al-Hadits  ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada  yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan  mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari'at Islam. Dalam pada itu  peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak peristiwa atau  kejadian yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada masa  Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak  ada nash secara khusus tentang masalah itu yang dapat dijadikan sebagai  dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada  prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan  di dalam al-Qur'an dan Hadits. Dengan melakukan qiyas maka hukum dari  setiap peristiwa yang terjadi dapat ditetapkan. 
C. Alasan golongan yang tidak menerima qiyas 
Telah diterangkan bahwa ada golongan yang tidak menerima qiyas sebagai  dasar hujjah. Alasan-alasan yang mereka kemukakan, ialah: 
a. Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar dhan (dugaan keras), dan  'illatnyapun ditetapkan berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah SWT  melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu yang dhan, berdasar firman  Allah SWT: 
ۚ
Artinya: "Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang                     itu..." (al-Isrâ': 36) 
b. Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat  semata-mata berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan Umar bin  Khattab: 
Artinya: "Jauhilah oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah  musuh ahli sunnah. Karena mereka tidak sanggup menghapal hadits-hadits,  lalu mereka menyatakan pendapat akal mereka (saja), sehingga mereka  sesat dan menyesatkan orang." 
Jika diperhatikan alasan-alasan golongan yang tidak menggunakan qiyas  sebagai dasar hujjah akan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Ayat  36 surat al-Isrâ', tidak berhubungan dengan qiyas, tetapi berhubungan  dengan hawa nafsu seseorang yang ingin memperoleh keuntungan walaupun  dengan menipu, karena pada ayat-ayat sebelumnya diterangkan hal-hal yang  berhubungan dengan perintah menyempurnakan timbangan dan sukatan,  perintah Allah memberikan harta anak yatim dan sebagainya dan dilarang  oleh Allah melakukan tipuan dalam hal ini untuk mengambil harta orang  lain. Sedang penegasan Umar bin Khattab berawanan dengan isi suratnya  kepada Mu'adz bin Jabal, karena itu harus dicari penyelesaiannya.  Pernyataan Umar di atas memperingatkan orang-orang yang terlalu berani  menetapkan hukum, lebih mengutamakan pikirannya dari nash-nash yang ada  dan tidak menjadikan aI-Qur'an dan Hadits sebagai pedoman rasionya di  dalam proses mencari dan menetapkan hukum atas masalah-masalah hukum  yang baru. 
Golongan ra'yu yang dimaksudkan Umar bin Khattab tersebut adalah mereka  yang menomorsatukan rasio, terlepas dari dari al-Qur'an dan al-Hadits,  sehingga kedudukan al-Qur'an bagi mereka adalah nomor dua setelah rasio  atau sudah dikesampinhkannya sama sekali. Dalam hal ini jelas bahwa cara  berfikir golongan ra'yu (rasional) yang dikecam Umar bin Khattab  tersebut tidak berfikir secara Islami. Apalagi kaum rasionalis tersebut  tidak dapat melepaskan diri dari subyektivitas kepentingan individu dan  golongannya, sedang surat Umar kepada Mu'adz membolehkan untuk melakukan  giyas, jika tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan  hukum suatu peristiwa. 
E. Rukun qiyas 
Ada empat rukun giyas, yaitu: 
1.Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan  hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi  ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih  (tempat membandingkan); 
2.Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan  hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar.  Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan)  atau mahmul (yang dibandingkan); 
3.Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar  nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada  persamaan 'illatnya; dan 
4.'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang  dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan  sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum  ashal. 
Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa  yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat  dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara'. Untuk  menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah  ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa  pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut  ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu  haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT: 
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya: 
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim  sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk  ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (an-Nisâ': 10) 
Persamaan 'illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat  berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum  menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu  sama-sama haram. 
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 
1. Ashal, ialah memakan harta anak yatim. 
2. Fara', ialah menjual harta anak yatim. 
3. Hukum ashal, ialah haram. 
4. 'Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim. 
E. Syarat-syarat qiyas 
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: 
1. Ashal dan fara' 
Telah diterangkan bahwa ashal dan fara' berupa kejadian atau peristiwa.  Yang pertama mempunyai dasar nash, karena itu telah ditetapkan  hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai dasar nash, sehingga belum  ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan berupa peristiwa  atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, sedang fara'  berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash  yang dapat dijadikan dasarnya. Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi  qiyas, kemudian dikemukakan nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya,  maka qiyas itu batal dan hukum fara' itu ditetapkan berdasar nash yang  baru ditemukan itu. 
2. Hukum ashal 
Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu: 
1.Hukum ashal itu hendaklah hukum syara' yang amali yang telah  ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang  akan ditetapkan itu adalah hukum syara', sedang sandaran hukum syara'  itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama tidak  berpendapat bahwa ijma' tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka  menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma' adalah hukum  yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran,  selain dari kesepakatan dari mujtahid. Karena hukum yang ditetapkan  secara ijma' tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin  mengqiyaskan hukum syara' yang amali kepada hukum yang mujma' 'alaih.  Asy-Syaukani membolehkan ijma' sebagai sandaran qiyas. 
2.'Illat hukum ashal itu adalah 'illat yang dapat dicapai oleh akal.  Jika 'illat hukum ashal itu tidak dapat dicapai oleh akal, tidaklah  mungkin hukum ashal itu digunakan untuk menetapkan hukum pada peristiwa  atau kejadian yang lain (fara') secara qiyas. Sebagaimana diketahui  bahwa syari'at itu ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, serta  berdasarkan 'illat-'illat yang ada padanya. Tidak ada hukum yang  ditetapkan tanpa 'illat. Hanya saja ada 'illat yang sukar diketahui  bahkan ada yang sampai tidak diketahui oleh manusia, seperti apa illat  shalat Dzuhur ditetapkan empat raka'at, apa pula 'illat shalat Maghrib  ditetapkan tiga raka'at dan sebagainya tidak ada yang mengetahui  'illatnya dengan pasti. Disamping itu ada pula ada pula hukum yang  'illatnya dapat diketahui dengan mudah, seperti kenapa diharamkan  meminum khamar, haram mengambil harta orang lain dan sebagainya. Hukum  ashal kedua inilah yang dapat dijadikan sandaran qiyas. 
3.Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang  berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu. 
Hukum ashal macam ini ada dua macam, yaitu: 
1.'Illat hukum itu hanya ada pada hukum ashal saja, tidak mungkin pada  yang lain. Seperti dibolehkannya mengqashar shalat bagi orang musafir.  'IlIat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran  atau kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur'an dan al-Hadits menerangkan  bahwa 'illat itu bukan karena adanya safar (perjalanan). 
2.Dalil (al-Qur'an dan al-Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashal itu  berlaku khusus tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain.  Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan bagi Nabi Muhammad  SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan laki-laki lain  walaupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya. 
3. 'Illat 
'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi  dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada  fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak  yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta  anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual  harta anak yatim. 
Para ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk  kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk  mengambil manfaat (jalbul manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak  kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu  merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut hikmah  hukum. 
Hikmah hukum berbeda dengan 'illat hukum. Hikmah hukum merupakan  pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah  untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan memperoleh  manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan.  'Illat hukum suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa  yang dijadikan dasar hukum.